Rabu, 09 Maret 2016

Kita: Tentang Kopi Dan Gula

Kita bagai secangkir kopi. Aku -yang mereka sebut- dingin juga sedikit kikuk dan kau seorang yang begitu manis dan menyenangkan. Ya. Aku ialah si hitam kopi dan kau ialah sang gula yang begitu putih, manis dan cintai. Tak banyak yang menyukai kopi. Kata mereka, aku begitu pahit; sudah terlihat jelas dari rupanya yang hitam legam bagai dosa. Sebaliknya, kau, si manis gula; putih, bersih, begitu manis, menyenangkan, disukai banyak orang; anak kecil, remaja, orang dewasa, hingga yang telah renta. Kopi dan gula, kita (dipaksa) disatukan dalam semesta; cangkir keramik putih, kadang bunga-bunga. Air panas mendidih memaksa kita melebur. Memaksa kita jadi satu. Utuh. Kemudian menyeruak aroma kita. Aroma peleburan kita. Uap-uap panas menari-nari di seluruh ruang. Terlihat bahagia melihat kita yang tlah satu. Wangi kita di mana-mana. Muncul seorang yang menamakan dirinya penikmat kita; secangkir kopi hitam dengan sedikit gula. Ia menutup matanya dan menghirup aroma kita dalam-dalam. Mencoba memasukannya ke seluruh rongga dadanya yang (mungkin) kosong. Lalu mendekatkan bibir tipisnya ke semesta kita. Meniup uap-uap panas yang daritadi menari-nari. Kita disesapnya perlahan. Terlihat wajahnya berubah-ubah di setiap sesapannya. Kadang memicingkan mata. Kadang tersenyum tipis. Kadang menutup mata. Seolah, kita berasa masam. "Kopi ini terlalu pahit" "Kopi ini buruk sekali rasanya. Kualitasnya. Tak enak" "Kopi ini nikmat sekali. Wangi sekali" "Kopi ini racikannya pas" Kopilah (dianggap) si pembuat masalah. Lama-lama, kita pun habis. Hanya tersisa ampasku yang pahit sedikit manis. Tertinggal dalam dinding-dinding cangkir. Dan kau, gula, pergi. Menghilang. Lenyap. Ditelan si penikmat bersama sedikit ampas kopi yang terbawa air. Aku ialah kopi, yang selalu ditinggalkan. Oleh seorang sepertimu, gula; (yang katanya) si manis menyenangkan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar