Kamis, 10 Maret 2016

K-A-M-U

Kertasku masih kosong, melompong. Tak ada satu pun huruf dari 26 huruf yang ada, tertoreh di atasnya. Otak menyajikan begitu banyak kata. Tapi tiada satu pun kupilih untuk kutuliskan di kertas kosongku. Entahlah, mungkin aku bingung. Atau mungkin aku terlalu pemilih? Begitu ucap pena yang sedaritadi kuketuk-ketukan kepalanya di meja belajarku. Tak kutemukan alasan yang tepat memilih dan menyusun 26 huruf dari rangkaian alfabet yang ada untuk dijadikan kata dan kurajut menjadi sebuah kalimat indah. “Dasar munafik!”, teriak cangkir putih agak kusam padaku. "Aku tidak munafik!”, balasku. "Pembohong besar!”, kopi hitam panas yang berada di dalam cangkir itu pun ikut meneriakiku. "Kalau kamu tak munafik, kalau kamu bukan pembohong tentu aku takkan kosong seperti ini!”, kertas yang daritadi kupandangi pun bersuara. Kemudian kuangkat penaku dan kugoreskan sesuatu di atas kertas kosongku, mereka bersorak. Gaduh.‘K-A-M-U’. Ya, kupilih empat huruf itu di awal tulisanku. Otak kemudian membuka layar putihnya dan memutarkan potongan-potongan kenangan yang pernah kita adegankan dulu. Mataku mulai berkabut, lalu kudengar suara terbahak. Kertas, pena, kopi dan cangkir sedang menertawaiku, bahkan pasangan kopi dan cangkir sampai memegangi perut mereka saking kegelian melihatku menangis.Pada akhirnya kertas itu hanya berisi K-A-M-U. Ya, hanya kata itu yang bisa kutulis. Tiada kata lain yang bisa kutorehkan diatasnya.Kamu memang tak mudah dijabarkan ke dalam sebuah kalimat. Bukan. Maksudku kerinduanku yang terlalu sulit dijabarkan. Bukan. Gengsiku yang susah dijabarkan. Baiklah, kuralat lagi. Gengsiku menghalangi kerinduan yang teramat sangat ini; yang ku kamuflase kan dengan kata sulit dijabarkan. Ah, aku bingung. Mereka benar. Aku bingung. Aku munafik. Aku pembohong besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar