Kamis, 13 Agustus 2015

Tunggu Saja Bunt

Aku sedang asyik melakukan ritual soreku saat itu – menatap senja sambil ditemani teh hangat di balik kaca jendela kamar – saat ponselku tiba-tiba bergetar. Sebuah pesan.
From: Bunt.
Adakalanya bersyukur itu sulit.
Aku mengerutkan kening demi membaca pesan itu . Aku meneguk teh di gelasku sebelum membalasnya.
Ada apa?
Aku mengetik balasan yang lagi-lagi terlalu singkat untuk menunjukkan kekhawatiranku.
5 detik kemudian ponselku bergetar lagi.
From: Bunt.
Aku ingin hidup normal.

Aku mengernyit. Pesan yang lain muncul kembali.
Aku ingin hidup tanpa beban banyak-banyak laiknya orang-orang. Ingin melakukan kegiatan yang memang sewajarnya aku lakukan. Aku lelah..

Aku menghela napas. Dadaku nyeri.
Aku ingin lepas dari semua beban, ingin pergi jauh-jauh. Berlari. Tapi kan aku laki-laki. Aku harus jalani seberapapun sakitnya untuk diriku sendiri.

Aku diam. Menunggu pesan selanjutnya.
Biasanya aku bawa santai saja, tapi yang namanya hati kalau sudah tertekan maunya mengeluh. Tapi aku tak punya tempat mengeluh, jadi akhirnya jengah sendiri. Akhirnya diam. Nanti juga reda sendiri.
Aku menunggu, tapi pesan yang lain tak kunjung masuk ke ponselku. Aku menghela napas kemudian mengetikkan pesan balasan untuknya.
Manusia itu lemah, jadi wajar jika kamu merasa lelah.
Kamu orang yang hebat. Klise memang, tapi Allah tak pernah memberikan cobaan di luar kemampuan hambanya.
Kuat ya, kamu..
Kita sudah diberi porsi hidup masing-masing. Mau menyalahkan keadaan juga tak mungkin, apa lagi mau dengki sama kehidupan orang lain.
Semua orang punya masalah, dan kamu adalah hati yang terpilih untuk lebih kuat dari yang lain.

From: Bunt.
Iya. Hanya kalimat itu yang bisa membuatku bertahan. Sampai saat ini.
Sudah, ya. Nanti aku menangis. Terimakasih banyak.

Aku meletakkan ponselku dan mulai melamun sambil mengaduk-aduk teh yang sudah dingin. Tak berminat aku meminumnya. Aku beranjak dari tempat dudukku dan mengambil sebuah buku tulis usang milikku.
Drrt.. Drrt..
Pesan lagi.
From: Bunt.
Aku..
Izin beli rokok, ya.
2 batang?

Aku berpikir cukup lama sebelum membalasnya.
Hmm.. 2 batang. Jangan lebih.
From: Bunt.
Iya. 😀

Aku tersenyum masam menatap layar ponsel. Meletakkannya di dekat gelas teh dan aku kembali menatap senja dari balik kaca jendela kamar. Menerawang. Mencoba hilangkan sesak di dada dengan mengagumi rona yang merekah di ujung cakrawala.
Aku menghela napas untuk kesekian kali lalu mulai menulis di buku usangku. Tentangnya lagi.
Biar.. Biarlah Bunt. Saat ini biar rokok yang menemani resahmu. Nanti, akan ada saatnya aku menggantikan posisinya. Memberikan tempat untukmu menyandarkan kepala. Merapikan anak-anak rambutmu yang berantakan. Mengusap linang bening yang nakal menjamahi pipimu. Mengelus dadamu, menenangkan degupmu.
Biar.. Biarlah tuan. Saat ini biar rokok yang menemani gundahmu. Nanti, akan ada saatnya aku menggantikan posisinya. Menghibur hatimu. Mengecup tiap jengkal kesedihanmu. Memeluk erat harapan-harapan yang hampir kau lepaskan. Mengingat kembali mimpi-mimpi yang pernah kau tuliskan. Menggenggam tanganmu, memberi kekuatan.
Nanti, Bunt. Nanti..
Tunggu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar