Jumat, 29 Januari 2016

Seharusnya

Aku masih saja menyusuri jalan-jalan yang sungguh masih sama hanya keadaannya saja yang berbeda. Kaki kita pernah meninggalkan debu bekas langkah yang beriringan walau ruang dan waktu telah memandu kau dan aku pada sebuah tujuan yang lain.Apa daya? Aku hanya perlu terpejam untuk melihat keindahanmu yang bagaikan perpaduan pagi muda dan senja yang terlihat dari bibir pantai, dan tentu saja, mengingat senyummu adalah cara bunuh diri yang sering kulakukan ketika rindu menancapkan belati ke dadaku kala sepi berperan sebagai pintu masuk beranda kenangan. Kenangan adalah salah satu rahasia waktu yang membuat kita melanggar batas kemampuan mengingat. Hidup ini mungkin akan lebih sederhana apabila kita bisa dengan mudah menghapus memori yang tidak ingin diingat lagi, karena pada hakikatnya kapasitas ingatan manusia itu tumpang tindih; melupakan memori lama dengan mengingat yang baru. Namun sayangnya, tak sesederhana teori. Sebab, ikhlas itu seni bertarung melawan diri sendiri ketika menikmati luka mahasakit dalam proses kehilangan sesuatu yang terlalu bernilai untuk direlakan dan dipasrahkan kepada kenyataan. Atas nama segala rintih dari jiwa yang nyaris mati dan tanpa cahaya akibat terbenam dalam hitamnya dunia tanpa harapan. Mengikhlaskanmu, kurasa ialah perbuatan terjahat yang harus dilakukan demi mengalahkan kehendak hati untuk kebaikan di hari esok. Seharusnya aku berpikir dan sadar sedari awal, tidakkah kita menjadi korban atas pertempuran ego yang pada akhirnya melukai kita dan meniadakan cinta? Seharusnya kau berpikir dan paham sejak dini, bahwasanya kenangan ialah arah kita pulang menuju pelukan, sayangnya kita memilih berpisah untuk menuju raga baru yang menjadi rumah persinggahan. Seharusnya aku dan kau bisa berdamai dan memakamkan masa lalu agar setiap malam bisa tidur dengan tenang tanpa perlu menyesalinya yang sudah-sudah. Seharusnya kita –melakukannya dengan cara– tidak pernah bertemu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar