Jumat, 20 Mei 2016

Mengusap kepalamu

Semua orang memiliki paling tidak satu gestur sederhana yang bermakna banyak sekali bagi mereka sendiri. Seperti buat Aku; mengusap kepalamu. Aku tak pernah menyangka kau akan mengakar begitu kuat di dalam kepalaku saat kali pertama aku bertatap mata denganmu. Kali lain, tiba-tiba aku sudah menemukan diriku menikmati senyum jenakamu. Dan sungguh, tawa renyahmu serupa alunan lagu-lagu merdu bagi telingaku. Rasanya ingin kuputar terus. Sampai kau serak. Aku masih ingat saat kita bertukar cerita tentang diri kita sendiri untuk pertama kali. Hanya kita berdua. Cukup lama. Lalu aku entah sejak kapan menjadi pendengar ceritamu nomor satu. Apa pun tentangmu, aku ingin tahu. Lalu serupa angin, kau menelusup diam-diam. Di dalam dadaku. Menyemai benih-benih bahagia. Menjaga. Menemani. Definisi bahagiaku menjadi begitu sederhana. Hanya dengan melihatmu terlelap saja aku sudah merasa damai. Lalu satu waktu, aku beranikan mengusap kepalamu. Kau tertidur, tentu saja. Mana berani aku mengusapmu jika kau tidak terlelap. Nah, bukannya merasa tenang, dadaku justru bergemuruh liar. Aku ingin. Sekali lagi. Hanya sekali. Mengusap kepalamu. Semesta mengaminkan. Diberikannya aku kesempatan untuk menemani insomniamu, mengisi waktu-waktu terjagamu, mendengar lukamu. Hanya sedikit saja kau bercerita, tapi aku melihat matamu berkaca-kaca. Maka aku mengusapmu. Selembut perasaanku kepadamu. Yang tak kuperhitungkan adalah kau rupanya membuatku ketagihan. Aku ingin lagi. Tak hanya sekali. Aku ingin lebih banyak lagi mengusap kepalamu. Dengan sayang.. Lalu kau tertidur lagi. Ah, kau selalu senang tertidur. Sialnya, kau hampir selalu tertidur di dekatku dan aku tak kuasa menahan diri untuk tak mengusap kepalamu. Seperti mengelus seorang bayi. Kau tampak begitu rapuh. Lantas benih baru mulai tumbuh. Aku ingin menjagamu. Maka saat itulah aku bertekad untuk menjagamu. Membuatmu tertawa, membuatmu kesal, membuatmu merasakan apa saja kecuali berduka. Kau si hebat yang manja. Ada banyak luka yang kau pikul sendirian dan aku ingin menjadi orang yang kau bagi bebannya. Tak menyelesaikan masalahmu, memang, tapi aku ingin menjadi berguna. Menenangkanmu misalnya. Aku ingat pernah marah padamu. Saat itu kau begitu kalut dan aku gagal menenangkanmu. Aku selalu benci penolakan dan penolakanmu waktu itu entah mengapa menyakiti dadaku. Aku benci kau yang menghindari usapan dariku. Benci kau yang tak berbicara padaku. Aku benci kau yang menolak untuk menatapku. Tapi aku tak bisa marah. Sampai kita merasa baik untuk saling bertegur sapa kembali, aku masih ingin menemanimu. Mengusap kepalamu lagi. Kesederhanaan yang rumit, kan? Sesepele mengusap kepala saja semesta memberi sejarah yang jauh dari “mudah dilupakan”. Hingga akhirnya mengusap kepalamu menjadi kebiasaan yang sulit kuhilangkan. Aku tak pernah tahan membiarkan hitam rambutmu menganggur dengan rapi. Aku selalu ingin mengusapnya, membuatnya berantakan, lalu menertawaimu. Bahkan hingga saat ini. Aku sering menemukan diriku sendiri berusaha mati-matian untuk tidak terlalu bahagia saat melihatmu, untuk tidak berlari ke arahmu, mengacak-acak rambutmu, lalu mendekapmu di dadaku. Ketahuilah, sayang.. Sesungguhnya aku menjadi manusia paling egois karena saat mengusap kepalamu, sebenarnya aku sedang menenangkan hatiku sendiri. Yang begitu rindu padamu. Yang begitu rewel ingin menemanimu. Aku ingin mengusap kepalamu. Sekali lagi. Seterusnya. Maka jangan berhenti untuk selalu mengizinkanku. Aku mohon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar