Aku tak marah ketika kamu memilih menyerah. Aku meredam. Diam. Sesenggukan. Terlalu takut berharap kamu mau mendengarkan. Peduli. Aku tak marah saat kamu memilih pasrah. Pada keadaan yang terlalu jalang untuk kita taklukkan. Terlalu sakit untuk aku abaikan. Terlalu tak penting untuk kamu pedulikan. Sungguh aku tak marah saat kamu sembunyi. Membiarkan aku membereskan sisa pertengkaran sendiri. Merapikan hati. Aku tak marah. Aku tak pernah bisa marah. Padamu. Aku hanya marah pada diriku. Karena tak mampu membuatmu memperjuangkanku Dan tinggal. Aku marah Pada diriku.
Minggu, 23 Agustus 2015
Kebohonganku Bunt
Ada begitu banyak kebohongan yang aku simpan. Salah satunya adalah merasa tidak apa-apa ketika kamu angkat tangan, menyerah atas kita. Salah duanya, aku merasa baik-baik saja ketika kamu tak ada. Salah tiganya, aku merasa biasa saja saat disana, di dada kirimu, kamu sudah hapus namaku dan menggantinya dengan nama orang lain.
Oh, dengan ukiran yang lebih indah.
Mungkin.
Rasa Sakitt yang (mampu) tertutupi
*Suatu hari* *Sesaat setelah Patah Hati*
Seorang teman bertanya “kenapa kau masih bisa tertawa?” | “Aku akan menangis ketika dia tak bisa lagi tertawa, saat itulah, tawaku ini kukembalikan padanya”
*Kebahagiaanmu yang tanpa Aku tetap menjadi kebahagiaanku, walaupun aku berharap bahagiamu itu aku*
*Kebahagiaanmu itu prioritasku, walaupun itu "Dengan" atau "Tanpa" aku, tapi ingatlah aku benci kalimat ini yang dengan kata Tanpa
Sabtu, 15 Agustus 2015
Surat untuk Orang Ketiga
Halo..
Hmm, ternyata menulis surat untukmu memang terasa canggung. Aku tidak pernah menyangka akan menulis apapun untuk ditujukan kepadamu. Sebelum ini, kamu hanyalah mantan pacar kekasihku yang keberadaannya mengganggu, bahkan terasa mengancamku.
Aku bahkan tidak bisa mereka-reka perasaanku sendiri. Apakah aku ikut berbahagia karena kalian kembali bersama? Apakah aku marah, merasa pacarku telah kaurebut? Apakah aku menyesal selama ini telah membiarkan kalian “tetap bersahabat”? Apakah aku mengutuk diriku sendiri karena telah memasuki dunia kalian? Aku percaya ketika kamu menjelaskan bahwa kalian tidak pernah berbuat sembunyi-sembunyi di belakangku. Kalian tidak pernah diam-diam hanya jalan berdua. Kalian bertemu hanya ketika menghadiri pesta ulang tahun seorang teman atau di acara kumpul-kumpul dengan teman lama. Aku percaya kamu telah merebutnya secara terhormat: dengan menunjukkan bahwa kamu ada untuknya saat dia membutuhkan.
Aku percaya, karena itulah yang aku lakukan ketika hubungan kalian berakhir, setahun yang lalu. Aku menjadikan diriku sahabat nomor satu untuknya. Sedemikianrupa sehingga dia tidak memilih untuk kembali padamu, melainkan mencobaku. Seharusnya sejak awal aku sudah tahu. Dia menyebut namamu dan bercerita tentangmu tanpa bisa dihentikan. Setiap kali aku melakukan sesuatu untuknya, dia akan menceritakan apa yang kamu lakukan untuknya. Setiap mendengarkan lagu tertentu, dia akan menceritakan pengalaman kalian berdua. Setiap menemukan hal baru, dia bergegas mencari ponselnya, mengubungimu, menceritakannya padamu.Tapi aku jadi tidak bisa membencimu karena aku tahu, kaulah yang mendorongnya untuk bertahan denganku. Mengajarinya untuk bersabar setiap kami bersitegang.
Aku minta maaf bila semua hal itu menyakitimu. Percayalah, aku tidak akan bersamanya setahun lalu jika tidak menyayanginya. Alasan yang sama mengapa kamu bersamanya, dulu dan sekarang. Aku harap kalian berbahagia setelah sekian lama terpisah karenaku.
Seandainya tidak ada dia, mungkin kita bisa menjadi sahabat. Tapi setelah semua yang terjadi, lebih baik kita hidup menjaga jarak saja. Kita hanyalah dua orang ketiga dari sudut pandang yang berbeda.
Bahagiakan dia.
Cup Cakes
Maret, ini adalah luka di jari telunjukku yang kesekian dari 517 hari jadi kita. Pisau ini tidak salah. Dia membantuku, hanya aku yang tak bisa mengendalikannya dengan terarah. Mungkin aku mengantuk atau terlalu lelah. Aku harap kau tak marah. Dari aliran darah yang mengalir di sela-sela potongan coklat untukmu, aku teteskan satu pada tepung itu. Maaf, ternyata belum cukup, ada air mata yang tak sengaja bercampur tanpa kutahu.
Dan, ini sempurna.
"Apa kau suka?"
"Ini sangat lezat, Mei. Terima kasih. Ini cup cakes terbaik yang pernah kunikmati"
Aku bisa melihat sinar kejujuran dari matamu. Kau benar-benar menyukai cup cakes itu Maret. Menyaksikan hal itu membuatku bisa meledak. Meledak karena bahagia. Aku ingin terus membahagiakanmu, Maret, dengan apapun yang aku punya.
"Aku menyelipkan bagian diriku di cup cakes"
"Pantas saja lezat, pasti ada cinta di setiap hidanganmu"
Maret tidak mengerti. Dia masih makan dengan lahap sambil sesekali mengelus kepalaku.
"Lain kali, akan aku selipkan hatiku di situ"
Maret masih tidak mengerti. Dia terlalu lugu untuk isi hati pacarnya yang tak sederhana.
Dia itu Bunt ku
Dia Bukan pria tampan seperti pangeran di dongeng-dongeng..
dia juga bukan pria kaya layaknya seorang bangsawan..
Dia bukan pahlawan seperti yang lainnya..
Dia Bukan Seperti itu..
Dia hanya seorang pria biasa dengan kedewasaan yang mampu mengajariku tentang perjuangan hidup..
Dia hanya seorang pria sederhana yang kaya hati..
Dia hanya pria yang terkadang menyebalkan dengan keegoisannya, dia juga pria yang keras kepala demi memegang prinsip hidupnya..
Dia pria yang dengan kelebihannya melengkapi hari ku..
dia yang dengan rendah hati mengakui kekurangannya..
Dia kebahagiaanku..
Dialah Bunt ku
Pria yang menyayangiku dengan segala kehangatan di pelukannya
Pada Akhirnya Bunt
Bahwa pelukanmu menjadi salah satu tempat yang paling nyaman, dimana kenangan bersenandung dengan riang, aroma parfum yang muncul dari kerah kemeja, napas yang terendus pelan, dan degup jantungmu yang tenang, membuatku terlelap dengan rasa aman. sangat aman. tolong jangan bangunkan aku, karena aku sedang berada pada sebuah garis linear dimana mimpi dan kenyataan berada pada keindahan yang sama.dan aku jadikan dadamu sebagai bantalan tempat sang tulang rusuk telah lama tersimpan yang kini menjadi aku yang kau muliakan. lalu kau sandarkan kepalamu, mata terpejam dengan ringan. kau selalu bilang bahwa senyumku adalah penghilangbeban paling ampuh ketika kau pulang. sementara itu, kupu-kupu menari dalam perut, harapan yang meletup-letup mengiringi doa-doa untuk masa depan yang terselip di sepanjang penghujan, air mata yang enggan keluar, dan perasaan yang muncul tak tertahan bercampur kesyukuran, seakan aku menjadi perempuan paling beruntung yang pernah Tuhan ciptakan.
Jumat, 14 Agustus 2015
Tentang Bunt -Laki-laki Kebanggaanku-
Ini sekelumit cerita tentang laki-laki saya..
Saya selalu menyukai ritual memakamkan
rindu di dadanya. Dada laki-laki saya. Seperti anak kecil yang pulang ke
rumah setelah seharian bermain bersama teman-teman. Rindu pada omelan
bunda tapi tetap tertawa saat dimandikan dan disuguhi semangkuk sup
panas. Rasanya menyenangkan dan hangat.
Laki-laki saya adalah hadiah atas (kalau
saya boleh narsis) kesabaran saya terhadap lika-liku kekecewaan yang
tidak pernah lelah mengetuk pintu hunian. Laki-laki saya adalah
pengingat dari Tuhan bahwa saya sudah seharusnya bersyukur atas nikmat
yang diberikan.
Laki-laki saya jarang sekali marah
padahal suasana hati saya sering berubah-ubah. Jarang pula berbohong
bukan karena dia tahu saya benci dibohongi tapi karena dia memang
mendidik dirinya sendiri untuk selalu jujur.
Laki-laki saya selalu mengatakan saya
cantik padahal saya tidak cantik. Dia selalu mengingatkan saya untuk
makan padahal tak jarang saya jadi ngambek karena merasa disuruh-suruh.
Laki-laki saya selalu bilang kalau isi kepala saya begitu menyenangkan
baginya padahal saya sendiri sering mati bosan dengan hal-hal yang saya
pikirkan. Laki-laki saya mampu membuat saya merasa cantik, merasa
pandai, merasa percaya diri, dan merasa lebih baik.
Laki-laki saya mampu mematahkan
kesedihan saya waktu saya menangis sesenggukan karena merasa terlalu
tolol dan lemah dalam menghadapi kenyataan. Dia katakan bahwa saya kuat
padahal saya sering menemukan diri saya tak berdaya dan menyerah pada
keadaan. Dia mampu membuat saya percaya untuk menjulurkan tangan dan
menerima bantuannya saat saya terjatuh dan malas untuk bangkit sendiri.
Laki-laki saya selalu mengatakan bahwa
saya perempuan yang tegar padahal saya sering menemukan diri sendiri
tenggelam dalam air mata kedukaan. Laki-laki saya tak pernah pergi waktu
saya memintanya untuk menunggu. Laki-laki saya selalu ada meski saya
pernah begitu marah karena kebencian yang entah datang dari mana.
Laki-laki saya selalu memaafkan meski
saya sering menemukan kesalahan diri sendiri begitu memalukan. Laki-laki
saya adalah kekuatan yang saya ingat saat saya begitu tenggelam dalam
kelemahan. Dia pelita dalam keremangan. Rembulan di langit malam.
Saya pernah begitu marah pada diri
sendiri karena merasa begitu tolol dan terlalu banyak cemburu. Laki-laki
saya mau repot-repot meyakinkan bahwa saya tidaklah seburuk yang saya
pikirkan. Saya pernah salah, dan laki-laki saya tak pernah menolak untuk
membenahi. Saya pernah sakit, dan laki-laki saya tak pernah menghindar
untuk menemani.
Ada malam-malam yang begitu menyakitkan
waktu saya terlalu pengecut untuk menghadapi rindu yang tak
pulang-pulang dari kepala saya, dan laki-laki saya meyakinkan bahwa saya
tidak sedang rindu sendirian. Dia meyakinkan saya bahwa rindu yang
menghampirinya sama bandelnya dengan rindu yang ada di kepala saya.
Laki-laki saya selalu mau repot
mengabari saya tiap kali ia akan bepergian padahal saya selalu lalai
memberinya kabar. Ia tak pernah marah, hanya sesekali sedikit lebih
rewel menanyakan saya berada di mana waktu saya lupa memberinya kabar.
Laki-laki saya tak jarang memberi
kejutan lewat tulisan, candaan, atau hadiah-hadiah kecil yang membuat
saya sendiri malu karena sering lupa menghadiahi diri sendiri dengan
hal-hal yang menyenangkan. Laki-laki saya penyabar yang membuat saya
meniru kesabarannya. Dia tenang yang menenangkan. Laki-laki saya tahu
kapan harus memperlakukan saya sebagai seorang adik kecil atau sebagai
seorang perempuan dewasa yang dia butuhkan.
Laki-laki saya terlalu menyenangkan untuk saya deskripsikan hanya dalam satu tulisan.
Teruntuk kamu, terima kasih untuk 517 hari ini. Mari menghitung lebih banyak lagi.
Kamis, 13 Agustus 2015
Tunggu Saja Bunt
Aku sedang asyik melakukan ritual soreku saat itu – menatap senja
sambil ditemani teh hangat di balik kaca jendela kamar – saat ponselku
tiba-tiba bergetar. Sebuah pesan.
From: Bunt.
Adakalanya bersyukur itu sulit.
Aku mengerutkan kening demi membaca pesan itu . Aku meneguk teh di gelasku sebelum membalasnya.
Ada apa?
Aku mengetik balasan yang lagi-lagi terlalu singkat untuk menunjukkan kekhawatiranku.
5 detik kemudian ponselku bergetar lagi.
From: Bunt.
Aku ingin hidup normal.
Aku mengernyit. Pesan yang lain muncul kembali.
Aku ingin hidup tanpa beban banyak-banyak laiknya orang-orang. Ingin melakukan kegiatan yang memang sewajarnya aku lakukan. Aku lelah..
Aku menghela napas. Dadaku nyeri.
Aku ingin lepas dari semua beban, ingin pergi jauh-jauh. Berlari. Tapi kan aku laki-laki. Aku harus jalani seberapapun sakitnya untuk diriku sendiri.
Aku diam. Menunggu pesan selanjutnya.
Biasanya aku bawa santai saja, tapi yang namanya hati kalau sudah tertekan maunya mengeluh. Tapi aku tak punya tempat mengeluh, jadi akhirnya jengah sendiri. Akhirnya diam. Nanti juga reda sendiri.
Aku menunggu, tapi pesan yang lain tak kunjung masuk ke ponselku. Aku menghela napas kemudian mengetikkan pesan balasan untuknya.
Manusia itu lemah, jadi wajar jika kamu merasa lelah.
Kamu orang yang hebat. Klise memang, tapi Allah tak pernah memberikan cobaan di luar kemampuan hambanya.
Kuat ya, kamu..
Kita sudah diberi porsi hidup masing-masing. Mau menyalahkan keadaan juga tak mungkin, apa lagi mau dengki sama kehidupan orang lain.
Semua orang punya masalah, dan kamu adalah hati yang terpilih untuk lebih kuat dari yang lain.
From: Bunt.
Iya. Hanya kalimat itu yang bisa membuatku bertahan. Sampai saat ini.
Sudah, ya. Nanti aku menangis. Terimakasih banyak.
Aku meletakkan ponselku dan mulai melamun sambil mengaduk-aduk teh yang sudah dingin. Tak berminat aku meminumnya. Aku beranjak dari tempat dudukku dan mengambil sebuah buku tulis usang milikku.
Drrt.. Drrt..
Pesan lagi.
From: Bunt.
Aku..
Izin beli rokok, ya.
2 batang?
Aku berpikir cukup lama sebelum membalasnya.
Hmm.. 2 batang. Jangan lebih.
From: Bunt.
Iya.
Aku tersenyum masam menatap layar ponsel. Meletakkannya di dekat gelas teh dan aku kembali menatap senja dari balik kaca jendela kamar. Menerawang. Mencoba hilangkan sesak di dada dengan mengagumi rona yang merekah di ujung cakrawala.
Aku menghela napas untuk kesekian kali lalu mulai menulis di buku usangku. Tentangnya lagi.
From: Bunt.
Adakalanya bersyukur itu sulit.
Aku mengerutkan kening demi membaca pesan itu . Aku meneguk teh di gelasku sebelum membalasnya.
Ada apa?
Aku mengetik balasan yang lagi-lagi terlalu singkat untuk menunjukkan kekhawatiranku.
5 detik kemudian ponselku bergetar lagi.
From: Bunt.
Aku ingin hidup normal.
Aku mengernyit. Pesan yang lain muncul kembali.
Aku ingin hidup tanpa beban banyak-banyak laiknya orang-orang. Ingin melakukan kegiatan yang memang sewajarnya aku lakukan. Aku lelah..
Aku menghela napas. Dadaku nyeri.
Aku ingin lepas dari semua beban, ingin pergi jauh-jauh. Berlari. Tapi kan aku laki-laki. Aku harus jalani seberapapun sakitnya untuk diriku sendiri.
Aku diam. Menunggu pesan selanjutnya.
Biasanya aku bawa santai saja, tapi yang namanya hati kalau sudah tertekan maunya mengeluh. Tapi aku tak punya tempat mengeluh, jadi akhirnya jengah sendiri. Akhirnya diam. Nanti juga reda sendiri.
Aku menunggu, tapi pesan yang lain tak kunjung masuk ke ponselku. Aku menghela napas kemudian mengetikkan pesan balasan untuknya.
Manusia itu lemah, jadi wajar jika kamu merasa lelah.
Kamu orang yang hebat. Klise memang, tapi Allah tak pernah memberikan cobaan di luar kemampuan hambanya.
Kuat ya, kamu..
Kita sudah diberi porsi hidup masing-masing. Mau menyalahkan keadaan juga tak mungkin, apa lagi mau dengki sama kehidupan orang lain.
Semua orang punya masalah, dan kamu adalah hati yang terpilih untuk lebih kuat dari yang lain.
From: Bunt.
Iya. Hanya kalimat itu yang bisa membuatku bertahan. Sampai saat ini.
Sudah, ya. Nanti aku menangis. Terimakasih banyak.
Aku meletakkan ponselku dan mulai melamun sambil mengaduk-aduk teh yang sudah dingin. Tak berminat aku meminumnya. Aku beranjak dari tempat dudukku dan mengambil sebuah buku tulis usang milikku.
Drrt.. Drrt..
Pesan lagi.
From: Bunt.
Aku..
Izin beli rokok, ya.
2 batang?
Aku berpikir cukup lama sebelum membalasnya.
Hmm.. 2 batang. Jangan lebih.
From: Bunt.
Iya.
Aku tersenyum masam menatap layar ponsel. Meletakkannya di dekat gelas teh dan aku kembali menatap senja dari balik kaca jendela kamar. Menerawang. Mencoba hilangkan sesak di dada dengan mengagumi rona yang merekah di ujung cakrawala.
Aku menghela napas untuk kesekian kali lalu mulai menulis di buku usangku. Tentangnya lagi.
Biar.. Biarlah Bunt. Saat ini biar rokok yang menemani resahmu. Nanti, akan ada saatnya aku menggantikan posisinya. Memberikan tempat untukmu menyandarkan kepala. Merapikan anak-anak rambutmu yang berantakan. Mengusap linang bening yang nakal menjamahi pipimu. Mengelus dadamu, menenangkan degupmu.
Biar.. Biarlah tuan. Saat ini biar rokok yang menemani gundahmu. Nanti, akan ada saatnya aku menggantikan posisinya. Menghibur hatimu. Mengecup tiap jengkal kesedihanmu. Memeluk erat harapan-harapan yang hampir kau lepaskan. Mengingat kembali mimpi-mimpi yang pernah kau tuliskan. Menggenggam tanganmu, memberi kekuatan.
Nanti, Bunt. Nanti..
Tunggu saja.
Kamu
Mungkin ada baiknya aku itu tidak ada sebelum kamu pergi
Mungkin akan sangat menyakitkan apabila aku sadar
Dan kamu sudah tidak ada...
Sejujurnya, aku jauh lebih memilih kehilangan apapun asal tidak kehilangan kamu
Mungkin akan sangat menyakitkan apabila aku sadar
Dan kamu sudah tidak ada...
Sejujurnya, aku jauh lebih memilih kehilangan apapun asal tidak kehilangan kamu
Hujan ini Bunt
Aku tak bisa lebih mati lagi waktu mendengar langkah kakimu yang meninggalkan. Tak bisa lebih sakit lagi. Demi melihat punggungmu mengecil di pelupuk mataku yang hujan.Aku benci Bandara ini, aku benci keadaan ini, keadaan dimana aku terlihat lemah didepanmu, aku benci diri sendiri yang gak bisa melepas kepergiaan mu dengan senyuman dan pelukan, ah aku benci perpisahan.
Jadi aku menunggu menghabiskan waktu dengan menghitung hari kepergianmu. Sambil sesekali menduga-duga, Apakah kau kembali hari ini atau lusa?
Segelas kopi dan secarik kertas usang sudah cukup, Tapi aku masih butuh pena. Aku cukup baik, Tapi aku butuh kau untuk sempurna Bunt, ah aku sadar banyak hal yang kita lakukan yang ngebuat aku susah untuk terbiasa dengan kesendirian ini. Hari ini hujan Bunt, apa kau tau apa yang terpikir diotak ku sekarang??? iya waktu kita berteduh ditempat yang aku kurang tau lokasinya, waktu itu hujan dan kita berteduh dibawah pohon besar depan sebuah puskesmas ah rumah sakit kecil dekat rumah teman mu, seperti biasa aku kedinginan tapi tetap menikmati hujan yang turun kewajahku, dan kamu dengan sabarnya menghapus tiap tetes air yang ada di hidungku, ah bunt, aku rindu kamu...
Hujan, iya aku selalu suka hujan, kita sering hujan-hujanan bareng, dikereta, diboncenganmu, aku selalu merentangkan tangan menikmati hujan, dan kamu dengan bawelnya menyuruh biar aku pakai helm supaya "tidak sakit" katamu..
Bunt, diluar hujan udah berhenti, tapi masih menyisahkan tetesan dimataku, tapi biarlah, toh aku menikmati setiap tetes yang ada, karena disetiap tetesan yang jatuh ada rindu yang ku titipkan untuk mu yang jauh disana...
Jadi aku menunggu menghabiskan waktu dengan menghitung hari kepergianmu. Sambil sesekali menduga-duga, Apakah kau kembali hari ini atau lusa?
Segelas kopi dan secarik kertas usang sudah cukup, Tapi aku masih butuh pena. Aku cukup baik, Tapi aku butuh kau untuk sempurna Bunt, ah aku sadar banyak hal yang kita lakukan yang ngebuat aku susah untuk terbiasa dengan kesendirian ini. Hari ini hujan Bunt, apa kau tau apa yang terpikir diotak ku sekarang??? iya waktu kita berteduh ditempat yang aku kurang tau lokasinya, waktu itu hujan dan kita berteduh dibawah pohon besar depan sebuah puskesmas ah rumah sakit kecil dekat rumah teman mu, seperti biasa aku kedinginan tapi tetap menikmati hujan yang turun kewajahku, dan kamu dengan sabarnya menghapus tiap tetes air yang ada di hidungku, ah bunt, aku rindu kamu...
Hujan, iya aku selalu suka hujan, kita sering hujan-hujanan bareng, dikereta, diboncenganmu, aku selalu merentangkan tangan menikmati hujan, dan kamu dengan bawelnya menyuruh biar aku pakai helm supaya "tidak sakit" katamu..
Bunt, diluar hujan udah berhenti, tapi masih menyisahkan tetesan dimataku, tapi biarlah, toh aku menikmati setiap tetes yang ada, karena disetiap tetesan yang jatuh ada rindu yang ku titipkan untuk mu yang jauh disana...
Rabu, 12 Agustus 2015
Untuk mu Bunt ku
Aku pernah begitu jatuh, lupa cara untuk
bangkit dan berjalan lagi. Pernah begitu terpuruk dalam
kesedihan-kesedihan atas pengkhianatan dari indahnya setia yang aku jaga
rapat-rapat.
Lalu kau datang. Tak menawarkan apa-apa selain pundak dan dada yang melarungkan kesedihan-kesedihan.
Dan aku jatuh telak dalam pelukmu. Dalam
pelukan lengan yang terbitkan hangat di dalam dada. Dalam bisik peluk
paling puisi yang membuatku merasa begitu dicintai. Dan aku tak merasa
harus bangkit dari sana, tak merasa harus pergi dan berjalan lagi.
Bunt Sayang, pelukmu itu obat bagi rinduku yang pesakitan.
Betapa tawamu mampu hadirkan cahaya pada gulita yang membutakan.
Betapa kau begitu memesona bagi hatiku yang rapuh untuk kembali jatuh cinta.
Sungguh semesta mempertemukanku padamu agar aku belajar cara bersyukur.
Maka, jaga dirimu dan rindu (kita) yang
mengungkung dadamu baik-baik, sampai semesta mengizinkan temu dan
berjanjilah, saat (pertemuan) itu terjadi, kau dan aku akan sama-sama
membunuh rindu dalam dekapan-dekapan yang dicatat semesta sebagai terang
bagi bintang-bintang baru. Berjanjilah untuk ikut menyaksikan rindu
yang mengusik kita selama ini mati satu-satu.
Kamu..
Terimakasih untuk datang di waktu yang tepat.
Terimakasih untuk tak pergi dan memilih memperjuangkan.
Terimakasih untuk mengingatkanku bagaimana cara jatuh cinta.
Kepada laki-laki yang paling pandai menyesaki dadaku dengan debar bahagia dan rindu, aku sayang kamu.
Pelukan mu Bunt
Aku sering menemukan diriku sendiri
terbangun di tengah malam dengan napas memburu dan linglung, tak tahu
harus melakukan apa. Atau seringkali aku terperangkap dalam sebuah mimpi
yang aku sendiri sadar bahwa aku sedang bermimpi tapi tak sanggup
bangun. Aku pernah mencoba menampar diriku sendiri beberapa kali di
dalam mimpi, tapi tak bangun juga hingga aku menangis keras-keras. Aku
merasakan hangat air mata yang meleleh di sudut mataku tapi aku tak
sanggup bersuara selain sesenggukan, sadar bahwa aku sedang bermimpi dan
benci karena aku tak sanggup bangun saat itu juga.
Pernahkah kau bermimpi lalu yakin
sesuatu yang buruk akan terjadi tepat ketika kau bangun dan sibuk
mengatur napasmu yang berkejaran?
Lalu tidur menjadi sesuatu yang menakutkan..
Ibu bilang, mungkin aku hanya lupa
membaca doa sesaat sebelum tidur padahal aku selalu membaca doa. Sahabatku bilang, aku hanya kurang makan
dan minum padahal aku selalu memastikan perutku kenyang sebelum tidur
supaya tak terbangun tengah malam karena kelaparan. Lagi pula aku tak
menyimpan makanan apapun di kamar untuk kumakan kalau-kalau aku
terbangun.
Lalu tidur menjadi sesuatu yang menakutkan..
Percayakah kau pada jimat? Sesuatu yang
bertuah, mengusir segala hal yang buruk. Kesialan dan mimpi buruk, lalu
mendatangkan keberuntungan.
Aku pernah menemukan diriku begitu
terkejut, terbangun tengah malam dengan seluruh badan gemetar, gigi
bergemeletuk dan napas tercekat. Lalu aku temukan peluknya, sesuatu
semacam jimat yang ajaibnya membuatku langsung merasa tenang. Aku
mendekapnya erat, menangis di dadanya. Tak sampai 3 menit, aku sudah
tertidur lagi. Lebih pulas.
Paginya, saat dia bertanya apa aku
semalam bermimpi buruk, aku berusaha keras mengingat. Sungguh aku hampir
lupa. Padahal biasanya, aku akan sulit tidur kembali setelah terbangun
karena mimpi dan akan selalu ingat mimpi itu saat hendak tidur sampai
tiga hari ke depan.
Dia adalah sebaik-baik jimat.
Pernahkah kau merasa bahwa kau ingin
terjaga di dada bidang seseorang, menikmati belaian tangannya di
punggung, wangi aroma napasnya dan gerakan dadanya yang teratur? Lalu
kau merasa tak penting itu terjaga atau bermimpi sebab dalam keduanya,
kau akan bertemu dengan orang yang sama dan rasanya sama-sama
membahagiakan.
Itu yang aku rasakan. Saat merajut lelap di dekap dadanya.
Dia adalah sebaik-baik jimat.
Maka setelah kau membaca tulisanku ini,
adakah kau mengingat seseorang? Lalu kau ingin berlari, mengendus
wanginya dan mendekap dadanya erat?
Maka kau setelah membaca tulisanku ini,
adakah sedikit saja air mata meleleh karena buncah rindu tiba-tiba
menemukan perciknya di dalam dada? Lalu tanganmu gemetar, sibuk mencari
genggam yang selama ini menguatkan?
Maka kau setelah membaca tulisanku ini, masihkah kau menginginkan jawaban?
Sebab dia adalah sebaik-baik jimat.
Sebab dia adalah kau. Bunt ku
Aku tunggu kau di sudut sesal, saat aku
terlalu terlambat menjawab pertanyaan “apa arti aku bagimu?” hingga
akhirnya kau hilang, tak meninggalkan jejak apa-apa untuk kucari dan
kuikuti lagi.
Maka setelah membaca tulisanku ini, maukah kau kiranya pulang, sayang?
Sebab mimpiku memanggilmu kembali. Saatnya aku terlelap dalam dekapmu lagi.
Hanya Sebuah Kemarahan
Teruntuk kamu.
Mungkin kamu tak akan mengerti bagaimana
rasanya dirundung kesepian seperti malam-malam yang selama ini kulalui.
Ah ralat, maksudku sepanjang tik tok jam yang aku lalui, tak hanya
malam-malam lagi. Setiap hari. Sebab toh kamu punya banyak sekali teman,
banyak sekali obrolan dan perbincangan, pun rencana-rencana untuk pergi
bersama entah dengan siapa yang jelas bukan aku.
Mungkin juga kamu tak akan pernah
menyangka betapa pedih rasanya ketika kamu mau melakukan apapun yang
seseorang minta, tapi dia tak melakukan hal yang sama. Seperti
menjadikannya nomor satu sementara kamu bahkan tak menduduki posisi
kedua, ketiga atau bahkan kelima dalam hidupnya.
Mungkin lagi, kamu tak akan pernah mau
peduli betapa kamu begitu dicintai dan dibutuhkan. Ah benarlah, toh
siapa yang peduli jika dia dibutuhkan? Orang-orang hanya peduli apa
mereka membutuhkan atau tidak. Tapi dulu, aku pikir kamu tidak begitu.
Tidak seperti orang-orang itu.
Mungkin kamu tidak akan tahu, bagaimana
rasanya kehilangan seseorang sementara orang yang begitu kamu rindukan
sama sekali tak merasa kehilangan. Ah, aku yakin kamu tidak tahu.
Mungkin yang kamu tahu adalah
memanfaatkan waktumu semaksimal mungkin, membuat dirimu lelah sendiri,
lalu bercerita panjang lebar atau justru marah-marah pada orang lain
yang kebetulan bersedia mendengarkanmu.
Mungkin yang kamu tahu adalah pergi ke suatu tempat. Refreshing,
katamu. Menghirup kesegaran suasana baru, tak perlu menceritakan
apa-apa. Melakukan hal-hal yang menyenangkan hingga kamu lupa apa yang
memberatkan dadamu. Tak salah. Sungguh aku tak menyalahkanmu.
Yang salah mungkin justru aku, memberimu waktu untuk sibuk sendiri, lalu aku kehilangan kamu.
Jadi tak salah sama sekali jika kamu
memilih pergi mencari suasana baru, padahal ada aku yang siap mendengar
ceritamu. Maka pedihlah hatiku saat kamu sedang lelah dan berkata, “aku
tak punya teman bercerita”. Biasanya aku hanya tersenyum saja, padahal
aku sudah menunggu ceritamu sejak lama.
Tak salah pula jika kamu memilih
melakukan hal-hal yang menyenangkan sendirian, atau bersama teman-teman,
atau entah siapa. Maka sedihlah saat aku mengajakmu pergi dan kau
menolak. Makin sakit rasanya dadaku ketika kamu justru memamerkan
keseruan kamu pergi ke sana, ke sini, ke situ tanpa aku yang selama ini
menunggu ajakanmu.
Sekali lagi kamu tak salah.
Yang salah mungkin justru aku.
Kamu tak bertanggung jawab atas pedih,
sedih, dan sakit yang aku rasakan karena kehilangan kamu. Yang
bertanggung jawab mungkin adalah kesepian-kesepian yang aku ciptakan
sendiri.
Mungkin bukan pula salahmu ketika kamu berubah menjadi bangsat.
Mungkin salah kecewaku yang terlalu mengharapkanmu untuk selalu ada dan tak pernah minggat.
Hahaha. Mungkin kesepian itu seharusnya
memang dibunuh lalu dihilangkan dari kamus kehidupan. Agar tak banyak
orang yang menderita seperti aku di luar sana.
Aku menyayangimu. Sungguh.
Ada dua pilihan bagiku untuk menghadapi
kamu. Mungkin aku perlu berkata sarkas, tapi kamu nanti menangis dan
sakit hati jika mendengarnya..
Atau aku biarkan kamu pergi. Dan tak pernah mengharapkanmu ada dalam hidupku lagi.
Oh ayolah, aku hanya marah.
Entah marah pada siapa. Bukan.. bukan padamu.
Aku tak mungkin mengatakan hal yang
macam-macam karena aku tak mau melihatmu terluka. Tak pernah tega. Aku
hanya pergi untuk sementara. Sampai kamu –jika aku beruntung- merasakan
kesepian yang sama. Sampai kamu –jika aku beruntung lagi- merindukanku
sama besarnya.
Aku hanya kesepian. Kesepian sekali.
Aku hanya sedang rindu. Rindu sekali.
Mungkin bukan hanya aku yang rindu padamu. Perbincangan seru
merindukan kita. Kursi di café itu merindukan kita. Orang-orang aneh
yang minta menjadi topik olok-olokan merindukan kita.
Ah.. Sudah, sudah.. Kamu tak perlu
memikirkan tentang sakitnya sepi yang mengiris nadi. Itu urusanku. Kamu
pergilah. Sampai kamu temukan hal-hal yang membahagiakan. Kelak ketika
kamu merasa lelah, dan benar-benar tak ada yang mendengarkanmu, kamu
bisa temui aku lagi.
Aku menunggu ceritamu lagi. Dengan secangkir kopi.
Semoga saat nanti, kalau kamu benar-benar datang, kamu datang seperti yang dulu, bukan yang bangsat seperti ini.
Dari yang mencintaimu pun yang terluka karena kehilangan kamu.
Nb: Untuk kamu yang membaca, pikirkan. Mungkin ada orang di luar sana yang telah lama kamu abaikan. Kamu biarkan tenggelam dalam kesepian. Sendirian.Maka ambil ponselmu. Hubungi dia. Beri waktu bagi rindu-rindu untuk luntur dalam pertemuan kalian. Pada perbincangan yang menyenangkan. Percayalah, mereka merindukanmu. Sangat merindukanmu. Peluklah. Lalu katakan kamu pun merindukannya.
Aku Mencintai Mu
Aku mencintaimu.
Tak pernah sedikitpun terbersit niat
dalam pikiranku untuk menyakiti kamu. Bahkan buruknya aku di pikiranmu,
menyakiti diriku sendiri. Aku selalu ingin menjadi yang paling baik di
matamu. Karena aku mencintaimu.
Aku mencintaimu.
Hingga apa-apa tentangmu yang tak
berhubungan denganku selalu berhasil membuatku cemburu. Aku ingin
menjadi satu-satunya bagimu, sebagaimana kamu yang menjadi satu-satunya
bagiku. Karena aku mencintaimu.
Aku mencintaimu.
Setiap puisi cinta yang aku tulis,
selalu lahir darimu. Selalu tentang kamu. Selalu mengabadikan tiap
indahmu bagi desirku. Karena aku mencintaimu.
Aku mencintaimu.
Maka Jangan ragu pada perempuan ini, sayangku.
Sebab ia mencintaimu dan bersyukur atas kehadiranmu. Utuh.
Senin, 10 Agustus 2015
Apa yang Aku Lakukan ketika MERINDUKAN mu ~LAGI~
Dear Bunt,
Apa kamu tahu yang aku lakukan ketika merindukanmu?
Aku menulis banyak tanpa kenal waktu. Jika tak sempat menulis di kertas atau koneksi internet membuat tuan segi empat yang setia di meja kamar menjadi lemah dan mengantuk, maka aku merangkumnya dalam pikiranku dan membiarkan sang tokoh di kepalaku mendongengkannya setiap malam. Sesekali dia datang saat aku duduk dalam angkot atau menyusun laporan yang harus selesai sore hari, dia masih saja bisa nyelip di laci memori. Loh Bunt, kenapa aku jadi pengkhayal melulu? Ah iya, kamu pun banyak mondar-mandir di pikiranku tanpa izin dulu. Apa aku di kepalamu juga sering iseng begitu?
Apa kamu tahu yang aku lakukan ketika merindukanmu???
Aku mencatat target belajar dan pekerjaanku hari itu dan mengerjakannya dengan rajin seperti pesanmu. Atau jika tidak, dengan sebisaku. Aku tak sabar untuk menceritakan keberhasilanku atau keberanianku mengalahkan ketakutanku. Begitupun kamu, aku yakin kita bisa menghadapi semua yang terbentang satu-satu. Aku ingin menjadi rajin, karena seperti katamu, aku bertanggung jawab pada diriku sendiri. Lagipula Tuhan suka orang yang rajin. Aku ingin dikasih hadiah dan diberi kemudahan untuk segera bertemu kamu. Loh Bunt, kenapa aku jadi pamrih begini? Ah iya, tak apa, Tuhan kan baik sekali.
Apa kamu tahu yang aku lakukan ketika merindukanmu???
Aku banyak berdoa pada Dia yang mengendalikan hati manusia, hatiku dan hatimu. Rindu membuatku bersyukur dan menjadikanku dekat dengan-Nya dan seakan terhubung denganmu. Saat aku tak mampu melakukan apapun, aku berdoa yang panjang dan membujukNya agar kamu sehat-sehat selalu dan didekatkan pada yang kamu mau. Saat aku merasa tak mungkin berbuat apapun, aku percaya bahwa Tuhan Menghendaki segala sesuatu asalkan bersabar dan percaya. Lagipula yang baik untuk manusia belum tentu baik di sisi-Nya jadi berserah saja. Loh Bunt, kenapa aku jadi bijak begini? Ah iya, kan baru belajar. Hidup dan waktu yang jadi pengajar.
Apa kamu tahu yang aku lakukan ketika merindukanmu???
Aku bermain-main dengan rencana. Mencari tahu tempat ini dan itu agar siapa tahu suatu hari kita bisa kesana. Makan yang enak dan makan yang banyak. Atau jalan-jalan sampai kelelahan. Ah Bunt, tapi apa kamu mau? Jika tidak mau, dengar saja ceritaku ya. Aku akan mencobanya sendiri. Asalkan janji, jangan iri. Tapi kalau kamu tak iri, aku bisa menangis berhari-hari. Ah ternyata, aku salah karena kamu PASTI peduli. Karena Kamu SELALU TAU dan SELALU MENGERTI APA yang sedang ku inginkan
Apa kamu tahu yang aku lakukan ketika merindukanmu???
Aku mengirimkanmu puisi di siang hari untuk kamu dengar sebelum tidur. Simpanlah, itu puisi-puisi kesukaanku. Jika kamu pikir itu mengganggu, pasrah pada sinyal yang tak tentu justru lebih membuatku terganggu. Akhir-akhir ini aku harus beradu cepat dengan waktu yang tak ramah dan mengambil alih perhatianmu hingga aku menjadi mudah marah. Tenanglah, aku menyimpan amarah itu sendiri dan akan kulampiaskan pada pengemudi yang tak tahu diri hampir menabrak para pejalan kaki yang berlari-lari seperti dikejar hantu setiap pagi. Tak apa, anggap saja mereka buta warna sehingga tak bisa membedakan warna merah dan hijau seperti katamu atau tak punya cukup dana untuk membeli mobil bagus dengan rem kualitas bagus sehingga etika sering kali tergadai untuk menutupi biaya gengsi dan malu. Loh Bunt, kenapa aku jadi seperti akan menyusun essay dan curhat begitu? Ah iya, aku memang kangen curhat padamu.

Aku menjadi mudah berair mata. Ada nyeri di dada yang datang sesekali atau sebongkah perasaan yang mampir di sekitar rahang sehingga membuatku sulit tersenyum dengan riang. Tapi jangan sering begitu, katamu, tak baik untuk kesehatan. Nanti cepat tua! Ah, AKU KAN INGIN CANTIK. Bagaimana dong? Air matanya sering nyelonong keluar sendiri, Bunt. Aku terlalu cepat terbawa perasaan. Lalu aku bisa berubah menjadi iri hati pada mereka yang bisa bertemu sesuka hati. Tapi tetap saja tak mensyukuri. Ah, mungkin memang lebih baik aku menjauhi film, fiksi, atau lagu yang sedih-sedih. Walaupun kamu tahu, aku suka sekali genre melankolis semacam itu. Pada akhirnya, aku hanya ingin berpesan bahwa aku akan selalu ada untuk mendukungmu. Janganlah kalah dengan kesibukanmu, yang membuat kita terpedaya seperti tak lagi menyapa atau lupa. Janganlah berpaling dengan keakuanmu, yang menyulitkanmu meluangkan waktu entah beberapa menit dari seribu empat ratus empat puluh menit yang dikasih Tuhan dalam sehari. Aku tak perlu banyak, Bunt. Sedikit saja. Percayalah, yang sedikit itu bisa membantuku memperbaiki hariku. Dan aku merasa berharga. Aku merasa diinginkan. Bukankah itu perasaan yang membuat kita bahagia, Bunt?
Saat aku menulis ini, aku pun sedang MERINDUKAN mu Bunt. -SELALU-. Rasa yang tumbuh dengan ranum dan terlalu. Kamu tahu yang aku lakukan saat ini dalam keriduanku? Aku diam, Bunt. Aku terbiasa diam. Aku ingin kamu belajar untuk tahu perasaan itu melalui dirimu. Dan aku pikir kamu telah belajar banyak, Bunt. Terima kasih. Aku merindukanmu. Ah iya, pada akhirnya ego harus mengalah. Aku tak tahan untuk tak mengucap itu. Hei, aku merindukanmu! :)
Langganan:
Postingan (Atom)