Sepi dan sendirian itu berbeda.
Mungkin, ada yang menyukai kedua-duanya, ada pula yang sengaja
menciptakannya, dan ada yang memang tak menginginkan keberadaannya, lalu
membenci kedua-duanya.
Demikian pula denganku…
Aku tak suka sepi, tapi aku suka sendirian – dengan pengecualian.
Karena kedua komponen itu bukanlah konstanta, tergantung variabel yang
mempengaruhinya, maka pernyataan itu tak berlaku setiap waktu. Ya,
hanya, kadang-kadang.
Sepi adalah keadaan di mana aku tak bisa berdamai dengan pikiranku.
Paradoks. Saat kamu berada dalam keramaian, walau tak sendirian, mungkin
kamu merasa sepi karena pikiranmu mungkin terus bergumam, “ini bukan
tempatku…” atau “ini bukan aku” atau “aku ingin cepat-cepat keluar dari
sini” dan masih banyak atau-atau yang lainnya.
Sedangkan sendirian adalah keadaan di mana aku sebagai jiwa yang
bebas yang seirama dengan pikiranku – tak bergantung ataupun bersama
yang lain yang bisa kamuandalkan saat itu, tapi kamu bisa mengandalkan
dirimu, dan kamu menyukainya. Aku suka berada di rumah sendirian, nonton
sendirian, makan sendirian, jalan-jalan sendirian, dan melakukan segala
sesuatunya sendirian lalu bersibuk-sibuk ria dengan pikiranku.
Produktif, mengisi waktu, bukan menghabiskan waktu. Ya, yang paling
penting, aku menyukai keadaan itu. Sibuk, bahagia, hingga lupa dengan
rasa sepi.

Namun, lagi-lagi, kedua komponen itu juga hanya berlaku
kadang-kadang. Sendirian tidak selamanya menyenangkan. Akan muncul satu
titik dimana kamu malah merasa sepi–butuh orang lain, teman sebaya,
ataupun orang yang kamu cinta, dan orang yang bisa kamu andalkan – untuk
bersamamu, berbagi makanan bersama, menggandeng tangannya, dan
meminjamkan telinganya lalu menepuk bahumu seraya berucap “Kamu hebat!”
atau “Kamu akan baik-baik saja!”
Dan, sebaliknya, sepi juga tidak selalu menyedihkan. Kamu butuh sepi
untuk bisa mengenal dirimu ataupun berperang dengan zona nyaman lalu
bangkit dengan kemenangan, “Aku bisa mengatasinya. Aku baik-baik saja”
Lalu, bagaimana perasaanku saat ini???
Ya, aku sedang sendirian, namun aku tak merasa sepi. Masih ada
film-film yang bisa ditonton, ide-ide yang bisa ditulis, isu-isu sosial
dan politik yang bisa dikritik, buku-buku yang bisa dibaca, lagu yang
bisa didengar, akhir pekan yang masih panjang, dan masih banyak daftar
dan-dan-dan yang lain.
Tapi, tetap saja, tetap saja. Aku manusia yang dianugerahi rasa bosan – dan ujung-ujungnya, sepi.
It’s true.
Without you, I’m still me.
But with you, I’m better me.